Bali tiada hari tanpa kegiatan ritual dan kegiatan itu mempunyai kaitan
erat dengan seni yang memberikan vibrasi dan sinar kedamaian, sekaligus
kesejukan setiap hati sanubari umat manusia.
Galungan hari raya besar yang dirayakan setiap 210 hari sekali itu
ditandai dengan pementasan kesenian Barong, rangda atau jenis kesenian
sakral lainnya pentas ngelawang pindah dari satu tempat ke tempat
lainnya.
Tradisi ngelawang yang diwarisi secara turun temurun itu
bermakna untuk menetralisir alam semesta, menolak segala jenis penyakit
yang mengganggu kehidupan manusia, termasuk secara niskala mengusir
orang-orang yang bermaksud jahat, menggangu keamanan Bali.
Seni ngelawang selain menyuguhkan hiburan, juga diyakini mampu
memberi vibrasi kesucian, sehingga penduduk terhindar dari marabahaya,
penyakit atau hal-hal lain yang tidak diinginkan.
Pementasan yang
unik dan menarik itu berlangsung secara sporadis menyimak ruang dan
menerobos waktu, karena pentas itu berpindah-pindah, bahkan masuk gang
dan rumah tangga.
Padahal pentas seni nomadan pada tahun 1970-an, mengkristal menjadi
peristiwa kesenian yang mewarnai Galungan selama sepuluh hari hingga
ritual Kuningan.
Pertunjukan keliling desa atau lingkungan yang
menyuguhkan puspa ragam seni tradisi Bali dalam beberapa tahun terakhir
digerus perubahan zaman.
Meskipun sulit memergoki sekaa-sekaa seni pertunjukan tampil penuh keintiman di tengah masyarakat.
Namun
dalam beberapa tahun belakangan mulai tumbuh anak-anak usia sekolah
dasar (SD) pentas keliling di wilayah lingkungannya masing-masing.
Seni
ngelawang memiliki makna melanglang lingkungan. Pada awalnya ngelawang
adalah sebuah ritus sakral yang magis yang disangga oleh psiko-relegi
yang kuat.
Bentuk perlindungan
Menurut
Suartaya benda-benda keramat seperti barong dan rangda diusung ke luar
pura berkeliling dalam lingkungan banjar atau desa yang dimaknai sebagai
bentuk perlindungan secara niskala kepada seluruh masyarakat di wilayah
lingkungan tersebut.
Kehadiran benda-benda yang disucikan itu
ditunggu-tunggu oleh masyarakat, bahkan warga yang dapat memungut
bulu-bulu barong atau rangda yang tercecer, dengan penuh keyakinan,
menjadikannya obat mujarab atau jimat bertuah.
Tradisi ngelawang
dalam konteks sakral magis sebagai persembahan penolak bala seperti
makna pentas ngelawang saat Hari Raya Galungan.
Namun dalam
perkembangannya masyarakat Bali yang kreatif tidak hanya ngelawang
mengusung benda-benda sakral, namun dibuatkan tiruannya untuk disajikan
sebagai ngelawang tontonan.
Dalam tradisi ngelawang Galungan
tersebut, bentuk-bentuk seni "balih-balihan" seperti arja, janger, atau
joged juga dapat disaksikan masyarakat sebagai hiburan.
Masyarakat yang haus hiburan menstimulasi pentas ngelawang menjadi wahana berkesenian yang konstruktif.
Sebagai
seni tontonan, ngelawang menurut Suartaya yang juga seniman andal asal
Kabupaten Gianyar itu, merupakan suguhan seni pentas yang serius, namun
santai.
Untuk mengapresiasinya penonton tidak harus duduk kaku,
namun bisa jongkok, berdiri atau bergelayutan, bersentuhan dan
bergesekan sembari menikmati alam bebas.
Dengan demikian hampir
tak ada jarak antara pelaku seni dengan penonton, semua lebur dan
menyatu. Kehadiran seni pentas itu tidak terikat oleh tempat, ruang dan
waktu.
Pertunjukan tari Topeng misalnya bisa terjadi di bawah
pohon besar yang rindang, pementasan barong bisa digelar di tepi
sungai, drama tari arja bisa hadir di jalan umum, bahkan di tengah
keramaian pasar.
Atmosfer pentas seni tontonan nan komunal kini
telah sayup-sayup. Begitu pula ngelawang dalam konteks sakral-magis
agaknya semakin redup, padahal tahun 1970-an, aura magis ngelawang itu
masih berbinar.
Rumah-rumah penduduk didatangi sekaa Barong
Kedingkling dan figur-figur topeng yang bersumber dari cerita pewayangan
Ramayana ini disongsong dengan antusias oleh seisi rumah.
Kedatangannya
diawali dengan sepotong tembang, misalnya tokoh punakawan Malen dan
Merdah, lalu disusul tokoh Subali dan Sugriwa menari semenit dua menit
di halaman merajan, tempat suci keluarga.
Kendati singkat, umumnya
masyarakat senang dan percaya aura ritual-magis yang dipancarkan
ngelawang Galungan itu akan memberikan keselamatan dan perlindungan.
Hasrat
hidup damai dan terlindung dari segala bencana tersebut itulah kiranya
yang menjadi akar ngelawang. Diperkirakan ngelawang berkiblat dari
sebuah mitologi Hindu, Siwa Tatwa.
Alkisah ketika Dewa Siwa dan Dewi Uma bercinta tidak pada tempat dan waktunya, harmoni terguncang.
Akibatnya adalah kesengsaraan bagi umat manusia dan makhluk hidup yang lainnya.
Sadar akan kekhilapannya itu, Dewa Siwa mengutus para dewa untuk menenangkan dan menenteramkan kembali seisi alam.
Setiba
di bumi, para dewa itu menciptakan dan mementaskan beragam bentuk
kesenian. Lewat kasih pagelaran seni itu seisi jagat kembali damai.
Makna
ruwatan dalam mitologi Siwa Tatwa tersebut juga senafas dengan
kandungan tolak bala dalam legenda hancurnya keangkaramurkaan
Mayadanawa yang kemudian disyukuri atau jadi pijakan awal Galungan,
perayaan kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (keburukan).